Untung Suropati
Untung Suropati (lahir di Bali, 1660 – meninggal dunia di Bangil, Jawa
Timur, 5
Desember 1706 pada umur 45/46 tahun)
adalah seorang pahlawan nasional Indonesiayang
berjuang di Pulau
Jawa.
Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden
No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Asal-Usul Si Untung
Untung Suropati, Nama aslinya tidak diketahui. Menurut Babad Tanah
Jawi ia berasal
dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang
perwira VOC yang ditugaskan di Makasar.
Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru,
karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa
keberuntungan sehingga diberi nama Si Untung.
Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor karena
berani menikahi putrinya yang bernama Suzane. Untung kemudian menghimpun para
tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan.
Mendapat Nama Surapati
Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya yang bernama Pangeran
Purbaya melarikan diri
ke Gunung Gede. Ia memutuskan menyerah tetapi hanya mau dijemput perwira VOC pribumi.
Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok
Untung. Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung pun
dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput Pangeran
Purbaya.
Untung menemui Pangeran
Purbaya untuk dibawa ke
Tanjungpura. Datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran
Purbaya dengan kasar.
Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28
Januari 1684.
Pangeran
Purbaya tetap menyerah
ke Tanjungpura, tapi istrinya yang bernama Gusik Kusuma meminta Untung
mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini kembali menjadi buronan VOC. Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan Jacob
Couper yang mengejarnya di desa Rajapalah.
Ketika melewati Cirebon, Untung bertengkar dengan Raden Surapati anak angkat sultan. Setelah
diadili, terbukti yang bersalah adalah Suropati. Surapati pun dihukum mati.
Sejak itu nama Surapati oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung.
Terbunuhnya Kapten Tack
Untung alias Suropati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada
ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti VOC yang gencar mendesak Amangkurat II agar mengkhianati perjanjian dengan bangsa Belanda itu. Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma
dengan Suropati.
Kapten François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari 1686 untuk menangkap Suropati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura
membantu VOC.
Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belanda tewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan
untung suropati.Tentara Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng
mereka.
Bergelar Tumenggung Wiranegara
Amangkurat II takut pengkhianantannya terbongkar. Ia merestui
Suropati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di kota itu, Suropati mengalahkan bupatinya, yaitu
Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati
Jangrana tidak melakukan
pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Suropati di Kartasura.
Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena
pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.
Kematian Untung Suropati
Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat
III melawan Pangeran
Puger. Pada tahun
1704 Pangeran Puger mengangkat diri menjadi Pakubuwana Idengan dukungan VOC. Tahun 1705 Amangkurat
III diusir
dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan.
Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng Bangil akhirnya menewaskan
Untung Suropati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706. Namun ia berwasiat
agar kematiannya dirahasiakan.
Makam Suropati pun dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan
putra-putranya dengan membawa tandu berisi Suropati palsu.
Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat
III. Ia menemukan makam
Suropati yang segera dibongkarnya. Jenazah Suropati pun dibakar dan abunya
dibuang ke laut.
Perjuangan Putra-Putra Suropati
Putra-putra Untung Suropati, antara lain Raden Pengantin, Raden Suropati,
dan Raden Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sebagian dari mereka ada yang tertangkap
bersama Amangkurat III tahun 1708 dan ikut dibuang ke Srilangka.
Sebagian pengikut Untung Suropati bergabung dalam pemberontakan Arya
Jayapuspita di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum
matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak Suropati dalam perang tahun 1706.
Setelah Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Suropati masih setia mengikuti. Mereka
semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar menentangAmangkurat IV yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil
dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Suropati dan para pengikutnya
dibuang VOC ke Srilangka.
Untung Suropati dalam Karya Sastra
Kisah Untung Suropati yang legendaris cukup banyak ditulis dalam bentuk
sastra. Selain Babad Tanah
Jawi, juga terdapat
antara lain Babad Suropati.
Penulis Hindia Belanda Melati van Java (nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga
pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada
tahun 1887. Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan
diterbitkan tahun 1898 dengan
judul Dari Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga
menulis tentang kisah ini adalah sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul Surapati.
I Gusti Ngurah Rai
Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari 1917 – meninggal di Marga, Tabanan,Bali, Indonesia, 20 November 1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali.
Ngurah Rai
memiliki pasukan yang bernama "Ciung Wenara" melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan
nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti "habis-habisan",
sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah
sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan,
Bali)
Bersama 1.372
anggotanya pejuang MBO (Markas
Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga, Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan
resimen CW dapat disimak dari beberapa buku, seperti "Bergerilya Bersama
Ngurah Rai" (Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK,
I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa peraih "Anugrah Jurnalistik Harkitnas
1993", buku "Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat
Pahlawan Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai" (Denpasar:
Upada Sastra, 1995), atau buku "Puputan Margarana Tanggal 20 November 1946" yang disusun oleh Wayan
Djegug A Giri (Denpasar: YKP,
1990).
Pemerintah
Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.
I Gusti Ketut Jelantik
I Gusti Ketut Jelantik (- 1849)
adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Karangasem, Bali.
Ia merupakan patih Kerajaan
Buleleng. Ia berperan dalam Perang Jagaraga yang terjadi di Bali pada
tahun 1849.
Perlawanan ini bermula karena pemerintah kolonial Hindia
Belanda ingin
menghapuskan hak tawan karang yang berlaku di Bali, yaitu
hak bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil kapal yang kandas di
perairannya beserta seluruh isinya. Ucapannya yang terkenal ketika itu ialah
"Apapun tidak akan terjadi. Selama aku hidup aku tidak akan mangakui kekuasaanBelanda di negeri ini". Perang
ini berakhir sebagai suatu puputan,
seluruh anggota kerajaan dan rakyatnya bertarung mempertahankan daerahnya
sampai titik darah penghabisan. Namun akhirnya ia harus mundur ke Gunung
Batur, Kintamani.
Pada saat inilah beliau gugur.
ada masa itu,di bali
terdapat Hukum hak Tawan Karam yaitu suatu hak bagi kerajaan yang dapat menyita
dan menguasai kapal-kapal yang terdampar di sepanjang Pantai Pulau Bali. Banyak
Kapal-kapal milik Belanda yang terkena hukum ini sehingga Belanda merasa amat
dirugikan karena adanya hukum ini.
Tahun 1843 Belanda memaksa raja-raja di bali
untuk menghapuskan hukum hak Tawan Karang. namun beberapa tahun kemudian, Raja
Buleleng tetap merampas kapal milik Belanda yang karam di perairannya. Hal
inilah yang memicu peperangan antara Belanda dan Kerajaan Buleleng.
Peperangan ini bahkan akhirnya menyebar hingga ke seluruh Bali.
I
Gusti Ketut Jelantik adalah
Patih Agung kerajaan Buleleng yang amat membenci belanda. Tanggal 27 Juni 1846,
Belanda menyerang Kerajaan buleleng dan berhasil menduduki Istana Buleleng.
Raja Buleleng dan Patih Jelantik kemudian mundur ke
Jagaraga.
Pada tahun 1849, Belanda kembali menyerang
Jagaraga. Tanggal 16 April 1849, Belanda berhasil menguasai Jagaraga. Belanda
terus dan terus mengejar Patih Jelantik dan pasukannya dan pada pertempurandi
Perbukitan Bale Pundak, Patih Jelantik gugur.
I
Gusti Ketut Jelantik dikukuhkan
sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No 077/TK/1993
Sultan Agung
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan
Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram,1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645)
adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645.
Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah
ditetapkan menjadi pahlawan
nasional Indonesia berdasarkan S.K. PresidenNo. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Silsilah keluarga
Nama aslinya
adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden
Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu
Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Versi lain
mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar
bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi
ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang
kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana
umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama.
Yang menjadi Ratu Kulon adalah
putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan
yang menjadi Ratu Wetan adalah
putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).
Gelar yang Dipakai
Pada awal
pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma"
atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah
menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma",
atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an
beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman".
Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram",
yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah diMakkah,
Untuk mudahnya,
nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer,
yaitu "Sultan Agung".
Awal pemerintahan
Raden Mas
Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20
tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara
teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun
secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan
Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah
pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di
sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar
Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu
Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas
oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji
Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada
tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit
(sekarang Mojoagung,
Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat
mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu
Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram
pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan
Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang
memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki
Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Menaklukkan Surabaya
Pada
tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu
bertahan.
Sultan Agung
kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan
di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan
direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai
pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada
tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu
kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang
bernama Pangeran
Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi
menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Pasca penaklukan
Surabaya
Setelah
penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang
berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah
penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah
penduduknya.
Pada
tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin
oleh Adipati
Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini
akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.
Hubungan dengan VOC
Pada
tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk
mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada
tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang
berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada
tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan
mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam
persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada
tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling
mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang
Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi
terlebih dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran
damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak
pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Menyerbu Batavia
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung
Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulanOktober dipimpin Pangeran
Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya
adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan
Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini
Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran
Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung
kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan
pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat
bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan
pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC
berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali
mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan
mengotori Sungai Ciliwung, yang
mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi
korban wabah tersebut.
Setelah kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan
Portugis untuk
bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu
sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk
merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan
pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya
pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa
segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran
Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan denganRatu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan
suami istri tersebut pada tahun 1636
Akhir kekuasaan
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan
Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali,
negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam
kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah
luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622.
Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang
tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan
sistem-sistem pertanian. Negeri-negeripelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung
pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia
memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya
adalah terciptanya Kalender Jawa
Islam sebagai upaya
pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai
penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan
pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan
supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram
menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan
bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Wafatnya Sultan Agung
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-rajaKesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat
Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin
sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
Ki Sodewo,
Pahlawan Mataram yang terlupakan.
Dalam
dinasti Mataram, dikenal beberapa tokoh sebagai Pahlawan Nasional, antara lain
Sultan Agung, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Sambernyowo. Dari sekian banyak
raja, ratu, pangeran dan tokoh-tokoh Mataram mungkin sebetulnya terdapat banyak
cerita kepahlawanan yang belum terungkap. Penyebab utamanya bisa karena dokumen
sejarah pendukung yang kurang. Sebagian besar kisah kepahlawanan hanya beredar
dari mulut ke mulut. Lain halnya tokoh yang rajin menulis seperti Raden Mas
Said (Pangeran Sambernyowo) misalnya yang mendokumentasikan sendiri
perjuangannya melalui tulisan-tulisannya. Oleh karenanya ajaran Pangeran
Sambernyowo mengenai Tri Dharma ( handarbeni, hangrungkepi, mulat sarira
hangrosowani) menjadi populer. Cukup sulit membedakan mana yang merupakan fakta
sejarah obyektif dan mana yang subyektif atau bahkan sekedar dongeng. Belum
banyak masyarakat yang tahu kisah kepahlawanan Ki Sodewo, Putra kandung
Pangeran Diponegoro yang berjuang di wilayah Bagelen dan Kulonprogo pada masa
Perang Diponegoro atau yang dikenal Belanda sebagai Perang Jawa. Hanya sedikit
penduduk di sekitar kota Wates yang tahu lokasi makam tubuh Ki Sodewo. Bahkan
makam ini tidak terletak di Taman Makam Pahlawan Giripeni yang berjarak hanya
beberapa ratus meter dari pemakaman umum Sideman, tempat dimana Ki Sodewo
dimakamkan. Sungguh ironis bagi Ki Sodewo yang asli 1000% seorang pahlawan. Dan
mungkin tinggal tersisa sangat sedikit orang yang tahu bahwa di daerah
Jrangking, dekat pemandian Clereng Kulon Progo ada daerah bernama Gunung Songgo
yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo dengan bambu.
Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya karena menurut cerita
apabila kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu Belanda khawatir Ki Sodewo
bisa hidup kembali karena kesaktiannya yang luar biasa. Ki Sodewo terlahir di
wilayah Madiun pada tahun 1810, bernama Bagus Singlon. Putera Pangeran
Diponegoro dengan R. Ayu Citrowati (dari Madiun) ini pada masa kecilnya
dititipkan pada seorang kyai bernama Ki Tembi di Madiun. Hal ini untuk
menghindari penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap anak turun Pangeran
Diponegoro. Ketika berumur 15 tahun pada tahun 1825 setelah mulai mengenal
asal-usul dan jati dirinya, Bagus Singlon mencari ayahnya. Bersama dengan Ki
Tembi, Bagus Singlon menuju Tegal Rejo, Goa Selarong dan route perjuangan
Diponegoro lainnya. Sambil menunggu saat perjumpaan dengan ayahandanya, Bagus
Singlon tinggal bersama Kyai Gothak di daerah Panjatan Kulon Progo. Bagus
Singlon rajin menempa ilmu kanuragan dari Kyai Gothak maupun para guru lain.
Bahkan Bagus Singlon belajar ilmu Pancasona sampai ke daerah Bagelen. Dengan
bantuan telik sandi, Bagus Singlon akhirnya berjumpa dengan ayahandanya
Pangeran Diponegoro. Oleh ayahandanya Bagus Singlon diberi julukan Ki Sodewo karena
kesaktian dan kehebatannya dalam bertempur. Nama itu berasal dari kata Laksono
Dewo (bagaikan dewa), dewa yang maha sakti dalam berperang. Ki Sodewo lalu
membantu pertempuran bersama para pengikut Diponegoro. Salah satu bukti
kedidayaan Ki Sodewo adalah kemampuannya membunuh Jendral Van De Cohlir, salah
satu jendral andalan Jendral Van De Kock, panglima perang Hindia Belanda. Ki
Sodewo membangun persaudaraan dengan tokoh-tokoh seperti Kyai Gothak dan Kyai
Josuto untuk mendapatkan bala tentara. Sebuah benteng pertahanan dibangun di
wilayah dusun Bosol. Benteng tersebut terbuat dari pohon bambu ori yang ditanam
di sepanjang sungai serang di wilayah dusun Bosol. Wilayah tersebut lalu
terkenal dengan Jeron Dabag (dalam dabag atau benteng). Bersama pengikutnya
yang disebut Laskar Sodewo beliau melakukan perlawanan secara gerilya melawan
Belanda. Rute gerilya yang pernah dilewati Ki Sodewo antara lain Panjatan,
Milir, Beji, Sentolo, Pengasih, Brosot, Lendah, Nanggulan, Kalibawang, Bagelen
dan Wates. Bagi rakyat Kulon progo pada masa itu Ki Sodewo adalah pahlawan,
namun Belanda melakukan propaganda bahwa Ki Sodewo adalah pemimpin gerombolan
perampok. Salah satunya tercatat dalam sejarah kabupaten Purworejo bahwa Ki
Sodewo adalah sekutu penjahat bernama Amat Sleman pada tahun 1838 yang
merupakan musuh dari Bupati Cakranegoro yang pro Belanda.
Darah Biru
Ki Sodewo
Darah yang
mengalir dalam diri Bagus Singlon memang penuh dengan kisah yang mewarnai babad
para raja di tanah Jawa mulai abad 12 dari masa kerajaan Singasari sampai
dengan ayahandanya Diponegoro. Menurut sejarah, Mahisa Wongateleng, salah satu
anak dari Ken Dedes dan Ken Arok-lah yang menurunkan raja-raja penerus
Singasari, Raja-raja Majapahit, Raja-raja Demak sampai Raja-Raja Mataram. Dari
Raden Wijaya , Tribuwana Tunggadewi, Brawijaya, Ki Ageng Selo, Ki Ageng
Pemanahan, Panembahan Senopati, Hamengku Buwono I, Hamengku Buwono II,
Hamengkubuwono III adalah para simbah dan leluhur Ki Sodewo.
Mungkin
sangat sedikit literature tentang Ibu Bagus Singlon, R. Ay. Citrowati yang
menurunkan Bagus Singlon sebagai hasil pernikahan dengan Pangeran Diponegoro.
Hanya sedikit diceritakan bahwa Ibu Bagus Singlon, turut dibunuh Belanda pada
masa perjuangan. Sehingga Bagus Singlon dititipkan kepada Ki Tembi di Madiun.
Kematian Ibunya dan semangat para simbah dan leluhur Bagus Singlonlah mungkin
yang membakar jiwa kepahlawanan Bagus Singlon dalam membantu Pangeran
Diponegoro mempertahankan martabat keluarga dan bangsanya.
Makam
Seorang Pahlawan ?
Seperti
diceritakan turun-temurun keluarga trah Ki Sodewo maupun buku dongeng rakyat
Kulon Progo, kesaktian ilmu ‘pancasona bumi’ Ki Sodewo mampu membuatnya hidup
kembali meskipun terbunuh selama raganya masih menyentuh bumi. Perjuangan Ki
Sodewo berakhir ketika dikhianati, yaitu ketika rahasia kesaktiannya dibocorkan
oleh adik seperguruan di Bagelen. Karena khawatir akan kesaktian Ki Sodewo,
Belanda kemudian memenggal kepala Ki Sodewo dan kemudian tubuh dan kepalanya
dimakamkan secara terpisah.
Makam tubuh
Ki Sodewo berada di kota Wates. Namun pada saat Kota Wates dibangun, makam
tersebut sempat dipindahkan. Pada saat hendak dipindahkan terdapat kendala
ketika tidak seorangpun mampu memindahkan makam tersebut. Sehingga dicarilah
keturunan Ki Sodewo untuk dimintai tolong memindahkan makam. Akhirnya salah
satu keturunan Ki Sodewo yang bernama Resosemito mampu memindahkannya ke makam
Sideman.
Adapun
petilasan makam kepala Ki Sodewo saat ini sungguh memprihatinkan. Menurut
cerita turun temurun pada zaman Belanda kepala Ki Sodewo tidak dikebumikan
namun disangga dengan bambu-bambu di atas perbukitan, yang kemudian dinamakan
Gunung Songgo. Saat ini terdapat 2 versi cerita mengenai makam kepala Ki
Sodewo. Versi pertama menyebutkan setelah dirasa aman kemudian Belanda
memindahkan makam kepala tersebut menyatu dengan tubuhnya. Versi lainnya
menyebutkan kepala telah dimakamkan di lokasi Gunung Songgo tersebut dengan
hanya ditandai dengan beberapa buah batu bata. Sungguh memprihatinkan untuk
ukuran seorang Putra Diponegoro yang ikut berjuang menjaga martabat Mataram.
Artikel Anda lumayan. Sy senang membacanya
ReplyDeleteKalo boleh masukkan saran: Tolong lebih teliti menulis judul agar pembaca nyaman.
Terima kasih
Salam Kompak dari Lombok
Bahrie Dede
Kami tunggu arikel berikutnya
ReplyDeleteMana pahlawan dari lombok judulnya kan pahlawan dari bali n lombok. Kok gak ada
ReplyDeleteMana pahlawan dari lombok judulnya kan pahlawan dari bali n lombok. Kok gak ada
ReplyDeleteNi kerajaan mataram jawa, bukan mataram lombok.
ReplyDelete